Tantangan dan Kebijakan Terkini dalam Implementasi Harga Gas Bumi Tertentu di Indonesia

Estimated read time 3 min read

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyikapi keputusan pemerintah untuk melanjutkan program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan harga US$ 6 per MMBTU dengan berbagai tantangan yang dihadapi. Keputusan ini dianggap memiliki dampak yang signifikan terutama terkait ketersediaan pasokan gas pipa dalam negeri yang terus menurun dan tingginya harga Liquid Natural Gas (LNG) sebagai opsi pengganti, yang akan menyulitkan konsumen industri.

Achmad Widjaja, Ketua Koordinator Gas Industri KADIN Indonesia, mengemukakan bahwa penurunan produksi gas secara alami, yang dikenal sebagai natural declining, telah terjadi di sejumlah sumber gas utama, terutama di wilayah Barat yang selama ini menjadi pemasok utama untuk industri. Hal ini menimbulkan ketidakpastian terkait kemampuan program HGBT untuk diimplementasikan secara volume yang memadai.

“Saat ini, ketidakpastian juga muncul karena industrialisasi di Jawa Barat mengalami penurunan sementara di wilayah Timur mengalami kelebihan pasokan. Ini mengindikasikan bahwa belum jelasnya shifting area pasokan gas,” ujar Achmad Widjaja dalam pernyataannya.

Dalam konteks ini, melimpahnya cadangan gas tidak lagi dianggap sebagai acuan utama karena pemerintah, termasuk Kementerian Perindustrian, telah mengakui adanya penurunan alamiah produksi gas di beberapa lokasi seperti di Sumatera. Hal ini menambah kompleksitas dalam merencanakan kebijakan energi yang berkelanjutan.

Lebih lanjut, Achmad Widjaja menyatakan bahwa yang diperlukan saat ini adalah kepastian mengenai skema dan kebijakan jangka menengah hingga panjang. “Kita perlu menetapkan pegangan untuk industri dalam 5 tahun ke depan atau bahkan 2 tahun ke depan,” tegasnya.

Pemerintah juga berencana untuk mengembangkan lebih banyak infrastruktur regasifikasi LNG di beberapa kawasan, yang menunjukkan bahwa skema harga campuran antara gas pipa dan LNG menjadi solusi yang semakin diperlukan. Namun, tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan skema ini masih panjang dan memerlukan kesepakatan dari berbagai pemangku kepentingan.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengingatkan bahwa kebijakan HGBT perlu diawasi dengan hati-hati, terutama dalam konteks peningkatan penggunaan LNG sebagai solusi atas penurunan alami produksi gas. Dia menyoroti bahwa dalam situasi tertentu di mana harga LNG naik, seperti jika Indonesia Crude Price (ICP) mencapai US$ 100, harga LNG bisa mencapai US$ 10 atau lebih. Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan intervensi untuk menjaga harga gas tetap terjangkau sesuai dengan HGBT.

Namun, tantangan lebih besar muncul jika Indonesia harus mengimpor LNG secara penuh, yang dapat mengganggu pasokan gas ke industri dalam negeri. Komaidi menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang fleksibel dan adaptif untuk menghadapi dinamika pasar energi yang berubah-ubah.

Pentingnya kepastian dalam kebijakan energi, termasuk harga gas bumi, juga ditekankan oleh Komaidi. Dia menyarankan agar pemerintah memberikan penjelasan yang transparan mengenai situasi sebenarnya kepada semua pemangku kepentingan, karena kepastian ini sangat diperlukan oleh industri untuk merencanakan investasi dan operasi mereka ke depan.

Sebagai penutup, Komaidi menggarisbawahi perlunya peran pemerintah sebagai fasilitator yang adil dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di sektor energi. Keadilan dalam distribusi manfaat dari kebijakan energi, dari hulu hingga hilir, menjadi kunci utama untuk memastikan keberlanjutan industri dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) di Indonesia memang menghadapi tantangan yang signifikan, namun dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif dari semua pihak terkait, diharapkan dapat diimplementasikan secara efektif untuk mendukung pertumbuhan industri dan perekonomian nasional.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours